Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Provinsi Bali Pramella Yunidar Pasaribu baru-baru ini menjadi berita utama dengan menyatakan bahwa Kantor Imigrasi di Denpasar, Bali, telah mendeportasi warga negara asing dari Rwanda karena tidak membayar denda harian sebesar Rp1 juta terkait pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Oknum yang dimaksud, Ishimwe Divine, telah melampaui masa berlaku visanya sehingga melanggar Pasal 78 ayat dua Undang-Undang Keimigrasian Nomor 6 Tahun 2011. Pasal ini mengatur bahwa orang asing yang tidak membayar denda karena melebihi masa berlaku visa dan tinggal di Indonesia kurang dari 60 hari akan dikenakan deportasi.
Kasus Ishimwe Divine menyoroti pentingnya mematuhi undang-undang dan peraturan imigrasi di negara mana pun. Penegakan undang-undang tersebut menjamin keamanan dan kesejahteraan warga negara dan orang asing yang tinggal di negara tertentu. Deportasi berfungsi sebagai tindakan pencegahan terhadap pelanggaran visa dan mendorong kepatuhan terhadap peraturan imigrasi. Hal ini juga menggarisbawahi tanggung jawab warga negara asing untuk menghormati hukum negara tuan rumah dan mematuhi persyaratan visa.
Namun, ada berbagai perspektif yang perlu dipertimbangkan ketika menganalisis kasus ini. Di satu sisi, penegakan hukum imigrasi yang ketat diperlukan untuk menjaga ketertiban dan keamanan dalam suatu negara. Dengan meminta pertanggungjawaban individu atas pelanggaran visa, pihak berwenang menjunjung tinggi integritas sistem imigrasi dan mencegah penyalahgunaan hak istimewa visa. Mendeportasi mereka yang melanggar peraturan visa juga berfungsi sebagai peringatan bagi orang lain yang mungkin mempertimbangkan untuk memperpanjang masa berlaku visanya atau melakukan pelanggaran serupa.
Di sisi lain, beberapa orang mungkin berpendapat bahwa penerapan denda sebesar Rp1 juta per hari untuk pelanggaran visa dapat dianggap berlebihan, terutama bagi individu yang mungkin tidak memiliki kemampuan finansial untuk membayar denda tersebut. alam kasus di mana individu tidak mampu membayar denda, alternatif seperti layanan masyarakat atau bentuk restitusi lainnya dapat dipertimbangkan untuk mengatasi pelanggaran tersebut sekaligus menghindari konsekuensi keras dari deportasi. Selain itu, ada kalanya perpanjangan masa tinggal visa tidak disengaja atau karena keadaan yang meringankan, sehingga memerlukan pendekatan yang lebih lunak dalam menangani pelanggaran tersebut.
Melihat potensi perkembangan di masa depan, penting bagi otoritas imigrasi untuk mencapai keseimbangan antara penegakan hukum imigrasi dan memastikan keadilan dan kasih sayang terhadap individu yang mungkin melanggar peraturan visa. Menerapkan langkah-langkah untuk mendidik warga negara asing tentang persyaratan visa dan potensi hukuman atas pelanggaran dapat membantu mencegah kejadian serupa terjadi di masa depan. Selain itu, menjajaki solusi alternatif untuk menangani pelanggaran visa, seperti rencana pembayaran denda atau program layanan masyarakat, dapat menawarkan pendekatan yang lebih manusiawi dalam menangani masalah imigrasi.
Kasus Ishimwe Divine menyoroti pentingnya menegakkan hukum dan peraturan imigrasi untuk menjaga ketertiban dan keamanan dalam suatu negara. Meskipun deportasi mungkin merupakan konsekuensi yang diperlukan dalam pelanggaran visa, penting bagi pihak berwenang untuk menangani kasus-kasus tersebut dengan adil, penuh kasih sayang, dan mempertimbangkan keadaan individu. Dengan menyeimbangkan antara penegakan hukum dan empati, otoritas imigrasi dapat berupaya mengembangkan pendekatan yang lebih inklusif dan penuh pengertian dalam menangani pelanggaran visa di masa depan.